PEMERINTAH KURANG TANGGAP SIKAPI HAK-HAK KESEHATAN PENGGUNA DAN KORBAN NAPZA

Spread the love

Jurnalline.com, TANGSEL – Acara diskusi publik yang digelar oleh Lembaga Drug Policy Reform (DPR) dengan tajuk Hak-hak Kesehatan Bagi Pengguna dan Korban Napza, bertempat di Surabi Café, Pamulang Permai, Tangerang Selatan pada hari Senin (11/09/2017) mengemukakan situasi Angka kasus penyakit menular yang disebabkan oleh penyakit penyerta adiksi seperti HIV, Hepatitis B dan C, TBC dan IMS (Infeksi Menular Seksual). Ditambah adanya kasus overdosis dan tingginya angka pemenjaraan pengguna Napza seolah tidak terpenuhinya hak-hak dasar masyarakat yang dilindungi oleh undang-undang di Negara ini, demikian disampaikan Ahmad Budiman, selaku Koordinator Drug Policy Reform (DPR) dalam kata sambutannya sembari membuka acara diskusi publik .

“Dari hasil penelitian yang kami lakukan, kami mendapatkan bahwa sebanyak 42.520 pengguna narkotika (2,78% dari jumlah penduduk Tangerang Selatan sebanyak 1.593. 812 jiwa (tahun 2016)). Apakah dengan melihat situasi seperti ini, Pemerintah Kota Tangerang Selatan masih tidak merespon situasi ini?” ungkap Cecep Supriyadi, Koordinator Divisi advokasi DPR.

Menurutnya, dengan posisi Indonesia terhadap Program Pengurangan Dampak Buruk Napza di Indonesia dengan menadatangani komitmen UNGASS on Drug 2016, tidak di imbangi oleh perkembangan dan peningkatan kualitas layanan kesehatan.

“Situasi ini perlu didorong lebih kuat secara bersama untuk memastikan keberlangsungan layanan program pengurangan dampak buruk Napza di Indonesia. Pendekatan kesehatan bagi populasi kunci pengguna Napza perlu dilakukan secara komprehensif dengan mengedapankan prinsip kesehatan masyarakat,” katanya.

Sementara itu Dr. Octavery Kamil, dari AIDS Research Center UNIKA Atma Jaya, melihat situasi upaya penanggulangan dampak buruk peredaran narkotika yang terjadi saat ini justru tidak memberikan informasi yang sesungguhnya tentang permasalahan narkotika. Kita dibombardir dengan hal-hal yang menakutkan dari peredaran narkotika, sehingga kita menjadi begitu ketakutan terhadap permasalahan narkotika dan akibatnya tidak mengambil peran dalam upaya penanggulangan dampak buruk peredaran narkotika, dan membiarkan hal tersebut diambil oleh para penegak hukum saja.

“Dari hasil survey yang pernah dilakukan di tahun 2014, dari 15% responden mengaku pernah bermasalah dengan hukum terkait narkotika dan sampai di penjara, dan perlakuan yang diterima tidak mencerminkan rasa keadilan,” ungkap tokoh pengamat harm reduction di Indonesia ini.

Pada kenyataannya, hingga saat ini Pemerintah Kota Tangerang Selatan belom membuat aturan hukum yang mengakomodir hak-hak kesehatan bagi pengguna dan korban napza. Bahkan beberapa layanan kesehatan terkait upaya pengurangan dampak buruk dan HIV AIDS di Tangerang Selatan yaitu layanan VCT di 12 PUSKESMAS, dan 1 layanan terapi rumatan methadon (PTRM) di PUSKESMAS Ciputat. Namun berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Fakultas Kedokteran UMJ pada tahun 2014, layanan yang ada belum memenuhi standar, bahkan sangat jauh dari standar nasional. Hal ini dikemukakan oleh Acho Ardiansyah, dari Tangerang Public Transparancy Watch (TRUTH).

Pihak eksekutif dan legislatif selaku penjalan amanat masyarakat di kota Tangerang selatan, seharusya mampu mengeluarkan sebuah kebijakan daerah untuk mengatur situasi tersebut. “Pemerintah harus mampu melakukan strategi pencegahan yang mengedukasi masyarakat secara tepat mengenai dunia adiksi dan melakukan pendekatan kelompok terdampak dengan cara humanis sehingga stigma dan diskriminasi dapat ditekan,” jelasnya.

Untuk itu pengamat harm reduction di Indonesia ini mengajak para penggiat isu kesehatan, kawan-kawan jurnalis, akademisi dan kelompok masyarakat terdampak yang menerima akses layanan untuk saling bertukar informasi dan menggali situasi.

Dia berharap, kedepan, pemerintah dalam programnya terdapat perhatian secara serius atas pengguna dan korban NAPZA di Kota Tangerang Selatan agar mendapatkan pelayanan kesehatan yang mudah diakses.

“Untuk mewujudkan hal tersebut, tentu ini membutuhkan dorongan yang masif dan kuat oleh CSOs atau masyarakat sipil,” pungkasnya mengakhiri sesi diskusi publik yang dihadiri 45 peserta yang berasal dari lingkup akademisi, pemerhati dan penggiat harm reduction, serta jurnalis dari berbagai media.

 

(J.A)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.