Jurnalline.com, Langowan (Minahasa) — Saudara-saudaraku di Langowan,
Setiap tahun, tanggal 17 Agustus adalah hari yang kita tunggu-tunggu. Hari di mana kampung kita ramai, bendera berkibar di setiap rumah dan derap langkah pawai menggema di jalanan. Namun, ada satu momen yang jauh lebih besar dari semua kemeriahan itu.
Momen yang hanya berlangsung beberapa menit, tapi nilainya tak bisa diukur dengan hitungan waktu.
Pukul 10.00 pagi, sirene berbunyi. Semua berdiri. Semua diam. Semua hati menyatu. Inilah Detik-Detik Proklamasi saat kita kembali ke 17 Agustus 1945.
“Kita bayangkan suara Bung Karno membacakan teks proklamasi, kita bayangkan wajah-wajah pahlawan yang gugur, dan kita rasakan betapa mahal harga kemerdekaan ini.”
Detik ini adalah jiwa dari perayaan kemerdekaan. Inilah inti dari semua rangkaian acara. Inilah janji kita kepada mereka yang tak pernah pulang dari medan perang, bahwa kemerdekaan yang mereka perjuangkan akan kita jaga, kita hormati dan kita rayakan dengan penuh khidmat.
Tetapi, mari kita jujur pada diri sendiri. Tahun-tahun sebelumnya, kekhusyukan ini sering terganggu. Saat bendera mulai dinaikkan, di ujung lapangan sudah terdengar suara riuh persiapan pawai.
“Saat bendera diturunkan sore hari, masih ada iring-iringan pawai yang berjalan di jalan raya. Perhatian kita terbelah. Rasa hormat yang seharusnya penuh, tercampur dengan kegaduhan.”
Kita tahu bersama dalam momen emosional yang sakral hanya akan terasa kuat jika seluruh perhatian tertuju pada satu titik. Sekali fokus itu pecah, intensitas rasa hormat akan turun drastis. Begitu pula protokol kenegaraan, yang menggariskan bahwa upacara bendera adalah puncak yang tak boleh berbagi panggung dengan kegiatan lain.
Tahun ini, kita punya kebanggaan besar 85 peserta pawai. Jumlah ini adalah bukti bahwa semangat kemerdekaan di Langowan semakin menyala. Tapi kebanggaan ini juga membawa tantangan. Jika kita memaksakan semua dalam satu hari, kita akan kelelahan, terburu-buru, bahkan kehilangan makna.
Peserta yang sudah berlatih berminggu-minggu tak akan bisa tampil maksimal. Orang tua yang ingin melihat anaknya tampil akan duduk berjam-jam dari pagi hingga malam, lelah menunggu. Dan yang lebih mengkhawatirkan, waktu panjang dalam prosesi pawai bisa dimanfaatkan untuk hal-hal yang mencederai perayaan ini seperti miras berlebihan, keributan, bahkan pertikaian.
Karena itu, panitia memutuskan menata ulang jadwal. Bukan untuk menghapus tradisi, tapi untuk menyelamatkan maknanya.
Saat 17 Agustus, besok hari :
Pagi hari: Upacara Detik-Detik Proklamasi berdiri sendiri. Tidak ada persiapan pawai yang mengganggu, tidak ada perhatian yang terbagi. Semua mata, semua hati, tertuju hanya pada Merah Putih yang berkibar.
Siang hari: Kirab budaya. Musik tradisional, tarian daerah, dan kekayaan budaya Langowan tampil gagah, sebagai pengingat bahwa kita adalah bagian dari NKRI yang kaya akan keberagaman.
Sore hari: Penurunan bendera. Kita berdiri lagi, memberi hormat pada merah putih yang diturunkan dengan terhormat, sebagai penutup yang indah dan penuh makna.
Pawai marching band dan gerak jalan sudah dahulukan di tanggal 14 dan 15, tapi diatur secara terpisah agar setiap peserta bisa tampil maksimal, dan setiap penonton bisa menikmati dengan nyaman.
Saudaraku, kita tidak sedang mengurangi kemeriahan. Kita justru sedang memperindahnya. Kita sedang menyulam ulang benang merah perayaan ini agar lebih kuat, lebih rapi, dan lebih indah.
“Kita ingin anak-anak kita mengingat perayaan kemerdekaan ini bukan hanya sebagai hari pawai, tapi sebagai hari di mana mereka merasakan bulu kuduk berdiri saat lagu kebangsaan berkumandang, saat bendera naik, saat sirene memecah sunyi, dan saat hati mereka bergetar oleh rasa cinta pada tanah air.”
Mari kita sambut perubahan ini dengan hati yang besar. Karena kemerdekaan ini bukan sekadar dirayakan, kemerdekaan ini kita muliakan. Dan itu dimulai dari menjaga sakralnya Detik-Detik Proklamasi. (EffendyIskandar)
Copyright © 2017 Jurnalline Cyber Media