Jurnalline.com, Minahasa — Hukum tua desa Panasen Kecamatan Kakas Barat Minahasa Leo Steven Tikoh, sekitar 52 KPM Penerima BLTDD ini diakomidir musrni hasil musyawarah desa.
“Hal ini adalah bagian dan upaya Pemerintah dalam peningkatan kesejahteraan warga masyarakat, dimana ada sekitar 52persen warganya adalah Lansia, anak Yatim, disibilitas dan sakit menahun serta odgj. Semua kami akmodir untuk memenuhi akan kebutuhan keluarga mereka.” Ungkap Kuntua Leo
Lanjut Tikoh selain program BLTDD, ada peningkatan infrastruktur jalan usaha pertanian yang di anggarkan pada ketahanan pangan, Adah bagian peningaktan ketahanan pangan diwilayahnya.
“Dirinya berpesan kepada warga penerima BLTDD agar menggunakannya sesuai kebutuhan pokok keluarga. Jika ditemui digunakan untuk judi dan lainnya dipastikan oleh pemerintah akan Menganti nama mereka yang lebih membutuhkan.” Imbuhnya
Sementara itu mengacu pada realisasi APBDes 2023, seluruh program dari pusat sampai saat ini masih terus ditindak lanjuti seperti halnya pada penanganan pada potensi stunting.
“Peran kader PKK, kader Posyandu, harus ada kerjasama semua pihak dan paling utama agar dapat menyentuh langsung kemasyarakat serta Terus Memaksimalkan pelayanan yang terbaik.”
Lanjut untuk pekerjaan yang sementara dilaksanakan didesa Panasen yang telah disusun, yakni pekerjaan jalan usaha tani dengan membuka akses pertanian yang berlokasi di perkebunan jaga dua dengan panjang 310meter.
Kuntua Tikoh berharap lewat pembangunan ini akan semakin meningkatkan kualitas pekerjaan dengan hasil pekerjaan dengan padat karya kualitas pekerjaan bermanfaat langsung kemasyarakat. “Dirinya memberi apresiasi atas peran dari warganya yang sangat responsif terlibat dalam setiap program yang dilaksanakan.” Tandasnya
Berikut sekilas berdirinya desa Panasen sebuah desa di kecamatan Kakas Barat, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara yang diapit oleh sungai Panasen dan Sungai Werisen.
Dan desa berdiri sejak tahun 1847.
Terdapat dua kisah yang melatar belakangi Desa Panasen. Yang pertama adalah kisah tentang para pedagang dari bagian tenggara Minahasa Belang menuju Manado.
“Sering memanfaatkan sungai yang berlokasi di desa ini sebagai tempat istirahat untuk memberi minum hewan sapi/kuda sebelum melanjutkan perjalanan ke Manado.
Hal ini disebabkan pada waktu itu sarana transportasi masih menggunakan roda sapi/roda plat serta jalan yang masih jalan kebun.” Rangkuman berbagai sumber.
Karena kebiasaan para pedagang itulah maka tempat tersebut dinamakan tempat peristirahatan atau dalam Bahasa Toulour dengan “Pahasengan” (salah satu dialek minahasa sekitar Danau Tondano).
Kisah yang kedua adalah pada pada zaman dulu desa ini masih berbentuk hutan belukar. Kemudian datang petani dan membuka perladangan untuk bercocok tanam. Mereka masih tinggal di rumah gubuk. Suatu waktu terdapat seorang ibu istri petani yang dalam keadaan hamil besar dan melahirkan bayi di tempat itu, tapi sayang bayi tersebut sudah dalam keadaan meninggal. Dengan sedihnya ibu dan keluarganya menangisi bayi tersebut.
Berdasarkan adat/kepercayaan jenasah bayi tersebut dimandikan sebelum dikuburkan oleh keluarganya di sungai yang berada di lembah bagian utara. Keajaiban terjadi, bayi itu bergerak/bernafas kembali setelah dimandikan di sungai tersebut. Akhirnya tempat itu mereka namakan tempat memberi nafas/kehidupan, dalam Bahasa Toulour adalah “Paasengan”.
Pada tahun 1847, untuk memudahkan penyebutan nama desa ini berubah menjadi Panasen dari Paasengan. Kisah ini didapat dari mantan juru tulis desa (1958–1976), Johanis Henoch Ticoh, Hukum Tua Desa Panasen (1976–1993), dan Jan Laloan, mantan juru ukur desa. (EffendyIskandar)
Copyright © 2017 Jurnalline Cyber Media