Rahman Kasim : Sorot HUNTARA, Gubernur Tepuk Dada…!

Spread the love

Jurnalline.com, Sulawesi Tengah (Palu) – Ketua Forum Warga Korban Likuifaksi Balaroa mengkritik kebijakan pengadaan HUNTARA (Hunian Sementara) yang dinilainya hanya pemborosan anggaran negara dan tidak sesuai dengan kebutuhan warga Korban.

Hal itu disampaikan oleh Rahman Kasim dalam dialog publik Rencana Aksi Daerah untuk Rehabilitasi dan Rekonstruksi Palu, Sigi, Donggala dan Parigi Moutong, yg digelar di Hotel SANTIKA Jl. Moh.Hatta Palu. Selasa (22/02/2019).

“Huntara itu menunjukan bahwa penanganan bencana tidak didasarkan dialog dengan warga korban. Semua jadinya berbasis proyek yang boros dan rawan korupsi. Saya minta jangan menari-nari di atas penderitaan korban,” ujar Rahman Kasim yg adalah korban likuefaksi Balaroa dan pengacara kondang ini.

Dialog yang diawali dengan pemaparan progres Bupati Sigi, Kota Palu, Donggala dan Parigi Moutong ini, dihadiri langsung oleh Gubernur Sulawesi Tengah, Satgas PUPR, perwakilan Bappenas, Tim World Bank, ADB, JICA, dan sejumlah NGO yang konsern lakukan pendampingan pasca bencana.

Situasi agak panas setelah salah satu korban dari Balaroa meneriakan keluhan,
“Kami sudah empat bulan mengungsi, nasib tidak jelas,” katanya.

Suasana jadi gaduh, menyusul interupsi korban Balaroa dari arah belakang ruangan. “Kami sudah 4 bulan di tenda tanpa kepastian…! Tolak HUNTARA…!”

Gubernur Sulawesi Tengah Longky Djanggola yang hadir menyimak paparan para bupati, refleks marah dan berdiri Berteriak-teriak.
“Kalau bicara pakai aturan, saya yang bertanggung jawab di sini…! Saya bertanggungjawab…!” ujar Longky sambil berdiri menepuk-nepuk dadanya.

Paparan kemudian dilanjutkan dengan para penanya lainnya yang juga masih menyangkan skema penanganan bencana.

Sementara itu, Bupati Sigi Irwan Lapata menyampaikan bahwa proses penanganan bencana di Sigi harus di kawal dengan sebuah regulasi berlevel Peraturan Presiden. Terutama kata dia, berkaitan dengan aturan larangan pembangunan di zona merah.

Selain itu kata Irwan, anggaran yang dimiliki Pemda sangat terbatas untuk mengcover semua kebutuhan.

“Saya berterima kasih pada bantuan pemerintah daerah lain yang ikut menyumbang, dan juga NGO-NGO, kehadiran mereka sangat membantu. Contoh di Pombeve, ada HUNTARA yg dibangun LSM BINA DESA, luar biasa partisipatif” ujar Irwan Lapata, Bupati yg dikenal pekerja keras tangani penanggulangan bencana di wilayahnya ini.

Ista Nur Masyitah, salah satu korban dan Pengurus Forum Korban Likuefaksi Petobo turut sampaikan pendapat nya. “…seperti di Petobo, mayoritas penyintas di shelter Petobo Ataa, telah familiar 3 bulan ini dengan TENDA SENG yg mereka bikin sendiri dari puing2 bekas reruntuhan rumahnya. Mereka tentu lebih memilih di Tenda Seng nya daripada di HUNTARA yg model barak itu”, sambung Ista.

Sementara Yahdi Basma, Ketua Pansus P3B (Pengawasan Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana) menyayangkan proses dialog publik tersebut tidak mencerminkan proses partisipatif. “Namanya KONSULTASI PUBLIK, maka isinya tentu harus mendialogkan RAD, Rencana Aksi Daerah. Minta pendapat publik. Ada Organisasi Korban, ajak mereka dialog”, jelas Yahdi Basma yg juga Ketua Forum Warga Korban Likuefaksi Petobo ini.

“Saya ikuti acara itu. Saya lihat seperti hanya sebuah paparan laporan bupati pada Gubernur. Cenderung formalitas dihadapan lembaga multi-lateral (JICA, UNDP dll) yg hadir. Tidak jelas makna konsultasi kepada publik,” pungkas Yahdi Basma.

(Tim/EffendyIskandar)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.